Yazrul Anuar
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
LENTERARAKYAT.ID – Lingkungan hidup merupakan bagian dari bumi yang mencakup mahluk hidup dan benda lainnya seperti air, tanah dan udara ataupun sumber energy yang ada didalamnya menjadi satu. Secara otentik pengertian lingkungan hidu diatur dalam pasal 1angka (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindumgan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi “kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”
Manusia memiliki pengaruh besar terhadap lingkungan hidup dalam hal pemeliharaan dan pelestarian. Lingkungan memberi manfaat untuk seluruh makhluk hidup, termasuk manusia, tumbuhan, dan hewan. Manusia secara alamiah memiliki hubungan dengan lingkungannya. Setiap harinya, manusia dan lingkungan selalu berinteraksi, baik manusia dengan lingkungan maupun manusia dengan manusia. Selain itu manusia memiliki kemampuan untuk mengubah lingkungan. Sebab hubungan manusia dan lingkungan hidupnya adalah hubungan yang terus menerus sehingga penting untuk menjaga hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang.
Perlindungan hukum bagi pembela lingkungan hidup sebagai agen The Precautionary Principle dewasa ini justru mengancam aktivitas dan eksistensi mereka.(Laode&Andri, n.d.) Faktanya masih sering terjadi bentuk pelanggaran hak berupa: kekerasan, kriminalisasi, ancaman kekerasan/intimidasi, dan gugatan perdata, dengan kriminalisasi sebagai bentuk pelanggaran hak/serangan yang paling sering terjadi. Sebagai Contohnya, Komnas HAM mencatat 11 aduan terkait kriminalisasi yang berasal dari individu, organisasi masyarakat sipil, lembaga bantuan hukum, dan sebagainya, sepanjang tahun 2020.(Sembiring, 2019) Sedangkan, Komnas Perempuan mencatat 36 kasus kekerasan terhadap Perempuan Pembela HAM dalam catatan tahunan 2020.(Komnas Perempuan, 2020) Sementara, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil untuk Pembela HAM mencatat angka yang lebih tinggi, yakni 116 kasus selama periode Januari-Oktober 2020.(Thea, 2020)
Perlindungan hukum ini penting diberikan mengingat setiap pembela lingkungan berjuang untuk kesejahteraan sekaligus memastikan lingkungan hidup tetap lestari. Kebijakan Anti-SLAPP (Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation) merupakan konsep yang menjamin perlindungan hukum masyarakat untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.(Agung, 2023) Anti-SLAPP merupakan konsep yang berkaitan erat dengan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dimuat secara otentik dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindumgan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidakdapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”
Kendati ada aturan Anti-SLAPP tersebut masih mengalami kendala dalam operasionalisasinya. Kendala ini umumnya bersumber dari ketiadaan peraturan yang khusus mengenai Anti-SLAPP yang masih terbatas kepada UU 32/2009 saja. Aturan tersebut pun masih sangat umum. Adapun sumber hukum lainnya yang mengatur Anti-SLAPP adalah Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup (SK KMA 36/2013). Oleh karena itu, segera mungkin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutatan menyusun peraturan tentang Anti-SLAPP. Karena merupakan kebutuhan untuk melindungi kebebasan berekspresi dan berpendapat, dan juga menjalankan amanah konstitusi untuk melindungi hak setiap warga negara dalam mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.