BUKITTINGGI, LENTERA RAKYAT.ID — Pengesahan Undang-undang Ibu Kota Negara (IKN) yang dinilai tidak adanya transparansi dan keterbukaan publik membuat misteri dalam seluruh kalangan masyarakat luas.
Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto dan Pakar Hukum sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari mengeluarkan pendapat terhadap UU IKN di Bukittinggi, Sumatera Barat (Sumbar) pada Kamis (20/01).
Kedua tokoh besar ini hadir pada sebuah agenda besar Musyawarah Nasional Asosiasi Program Studi Ilmu Hukum dan Forum Dekan STIH/FH Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) seluruh Indonesia. Bukan hanya itu, dalam kegiatan turut hadir Ketua Ombudsman RI Muhammad Najih dan Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas .
Pertama, menurut Feri Masyari rancangan UU IKN ini terkesan tergesa-gesa, tidak adanya keterbukaan dan tranpalansi publik yang ia lihat dari hitungan belasan hari pembahasan dan sekitar 16 jam dirapatkan dan disahkan. “Kalau dilihat ini diupayakan secepat-cepatnya mengejar target,” kata Feri.
Selanjutnya ia melihat dri proyek mercusuar yang berjumah ratusan triliun lebih ini juga terkesan dipaksakan.
“Kedua dilihat dari proyek mercusuar dengan dana 400 triliun lebih ini kesannya terlalu dipaksakan,” tambahnya sembari menjelaskan beberapa pendapat.
Menurutnya, pemindahan ibu kota merupakan sebuah hal yang biasa dan bahkan di sejumlah negara juga ada yang berpindah ibu kota sampai beberapa kali. Juga membahas kewenangan otorita yang diatur melalui perpres itu seperti menyerahkan semuanya kepada presiden semata.
“Bagi saya penyerahan kewenangan badan otorita melalui undang-undang secara terbuka tanpa ada rijiditas, maksudnya kewenangan itu diserahkan begitu saja seperti kurang lebih bunyinya, kewenangan badan otorita akan diatur lebih lanjut dalam perpres,” lanjutnya.
Secara intinya, pengesaha undang-undang yang terkesan kejar tayang pastinya memiliki tujuan yang hendak dicapainya. “Kalau saya melihat ada 400 triliun yang sedang diperebutkan,” tutup Feri.
Ditempat yang sama, Bambang Widjoyanto juga menanggapi persoalan pemindahan ibu kota yang dilakukan pada saat pandemi, mengenai isu kewarasan dimana sehat belum tentu waras.
“Utang kita membengkak, jadi ditengah situasi yang seperti itu kita membuat satu projek mercusuar yang besar, ini pertanyaannya bukan soal hukum saja, ini soal kewarasan kita, masuk akal nggak sih ditengah situasi yang penuh masalah itu, terus kita memindahkan ibu kota baru,” ujarnya.
Dengan dasar yang tidak jelas ini menjadi dasar timbulnya banyak pertanyaan. Jika dicek pada alinea keempat membicarakan soal keadilan dan kesejahteraan.
“Keadilan dan kesejahteraan kita masih jauh terus kita main-main mindakan rumah, the substance, kenapa kita membentuk negara ini kita masih susah, kenapa republik ini dibentuk karena ingin mewujudkan kesejahteraan dan keadilan,” terangnya sembari menjelaskan filosofis didirikannya negara.
Menurutnya ini sudah masuk ke inkonstitusional dengan tidak bersungguh-sungguh membangun negara. Program pemindahan ibu kota ini sperti kepentingan para elit dan bertentangan dengan kepentingan rakyat, bilamana dibuat kuisioner antara memilih kesejahteraan atau pemindahan ibu kota baru, ia meyakini bahwa kebijakan ini tidak sesuai dengan kemaslahan rakyat.
“Dampaknya, hasil-hasil pajak yang tadinya didedikasikan untuk kepentingan rakyat, kepotong untuk membangun itu, mestinya kita dapat fasilitas-fasilitas untuk meningkatkan kesejahteraan, jadi pencapaian tujuan konstitusi dan tantangan yang didapatkan masyarakat itu untuk mencapai kesejahteraan jadi tidak bisa diakomodasikan segera,” tutup Bambang Widjayanto. (Ayu)
Editor : Surya Hadinata, SH