Cerita ini berawal tahun 1992. Itulah pertama kalinya saya menginjakkan kaki di tanah Jawa. Sudah lama saya mengimpikan melihat Jakarta atau Bandung. Setamat MAN Koto Baru Padang Panjang saya belum berniat kuliah walaupun seharusnya sudah kuliah. Saya memilih masuk pesantren dulu untuk memahami bahasa Arab dan kitab. Tujuan saya adalah Pondok Pesantren Al Mukmin Surakarta.
Sebelum berangkat saya berpamitan dengan saudara-saudara, famili, handai tolan dan bahkan tetangga jauh dan dekat. Bagaikan orang yang akan berangkat jauh sekali dan tidak akan kembali. Maklumlah waktu itu Jawa masih terlalu jauh rasanya. Jauh sebelum itu, pada era sebelum 80-an sampai awal 80-an orang-orang lebih suka naik kapal di Teluk Bayur untuk berangkat ke Jawa. Jika ada yang berangkat, handai tolan turut mengantar ramai-ramai ke pelabuhan lalu melambai-lambaikan tangan sebagai tanda perpisahan diiringi lagu “Selamat Tinggal Teluk Bayur” oleh Erni Johan. Orang-orang biasanya menangis melepas keberangkatan saudara mereka yang entah kapan akan kembali. Begitulah pula pada tahun 90-an bagi saya Jawa masih sangat jauh.
Demikianlah, sebelum berangkat saya pamitan dengan sanak famili dan handai tolan; tetangga dekat dan tetangga jauh; bako-bajo dan orang-orang kenalan tak ketinggalan. Setiap handai tolan yang saya pamiti biasanya menyelibkan uang beli es di jalan. Rata-rata Rp. 5000,-per orang. Lumayanlah untuk penambah uang jajan. Bayangkan, ongkos ke Jakarta atau Bandung masih sekitar Rp. 25.000,- atau Rp. 30.000,-an. Itulah gunanya bersilaturrahmi, melapangkan rezeki.
Adalah seorang bapak, saya memanggilnya Pak Adang, suami salah seorang bako saya di kampung. Beliau seorang guru agama, mengajar di sebuah MTs Negeri. Waktu saya berpamitan dengan beliau menitipkan bekal. Bukan hanya uang beli es tetapi mantera-mantera untuk jaga-jaga di perantauan. Maklum, laut sakti rantau bertuah. Lain Lubuk lain ikannya, lain padang lain ilalangnya. Beliau berpesan, jika ke rantau harus ada bekal. Jangan hanya bawa perut kosong. Maksudnya, bukan makanan melainkan mantera-mantera atau ilmu bela diri. Jika hari hujan ini baca supaya tidak kena hujan. Jika naik bis supaya tidak tampak kita oleh kenek ini baca. Pokoknya adalah beberapa mantera yang diajarkannya sebagai bekal di rantau orang. Umumnya berupa potongan ayat al-Quran. Akhirnya, saya sampai juga di tanah Jawa. Mula-mula saya mampir di Bandung menemui Mak Tuo. Dari Bandung baru saya ke Solo, kampungnya Jokowi.
Setahun setelah itu, pada masa libur panjang tahun ajaran baru saya tidak pulang ke Bukittinggi tetapi melawat ke Jakarta. Di sana banyak sanak famili, tetangga dan orang kampung. Ditemani seorang kawan, penduduk Jakarta sayapun liburan ke Jakarta. Dari Solo Balapan kami naik kereta api ekonomi ke Tasik Malaya. Sejak berangkat sampai di stasiun Tasik Malaya sering sekali kereta ini berhenti di stasiun yang dilewati. Di setiap perhentian ada saja penumpang tambahan. Maklum kereta ekonomi. Yang naik kadang bukan saja orang, juga hewan ternak. Jika bangku sudang penuh toiletpun bisa diisi penumpang.
Kami mampir satu malam di rumah guru kawan ini baru kemudian melanjutkan perjalanan dengan bisa ke Jakarta. Di Jakarta saya menginap satu malam di rumah kawan kemudian melanjutkan perjalanan mencari family di Jakarta.
Itulah petama kalinya saya berkunjung ke Jakarta, kota metropolitan kata orang, Jalanan macet, Bis-bis sesak. Jika terlambat naik terpaksa berdiri. Udara berdebu, Orang-orang semua sibuk. Lama juga mencari alamat famili yang beralamat di Matraman. Dari Senen kami berjalan kaki sampai ke Matraman. Tanya-tanya akhirnya sampai juga. Setelah sampai kawan itu berpamitan.
Di Jakarta saya manfaatkan waktu melawat sanak saudara, berkeliling-keliling ibu kota. Masuk toko keluar toko; masuk mall keluar mall; masuk toko buku keluar toko buku; berkunjung ke Monas dan tempat-tempat penting lainnya. Di Kwitang Senen ada masjid Mas Agung. Di atasnya ada toko buku besar. Di sekitar kwitang banyak pedagang buku baik bertoko maupun kaki lima. Kata orang buku-buku di sini murah-murah. Di sinilah biasanya mahasiswa mencari buku. Saya sempat pula membeli kitab di toko Mas Agung. Di antaranya kitab “ Arruh” karangan Ibnu Qayyim al- Jauziyyah.
Saya sering naik turun bis kota dan Angkot. Di sinilah saya cobakan mantera yang pernah diajarkan Pak Adang dulu sebelum berangkat ke Jawa. Saya cobakan mantera supaya kenek bis tidak melihat saya sehingga gratis naik bis. Cara cobalah beberapa kali. Ternyata manjur. Kenek tidak menagih ongkos, padahal waktu itu ongkos masih Rp. 100,- ke mana pergi. Saya tidak tahu persis apakah mantera yang manjur atau memang kenek itu tidak biasa memaksa penumpang membayar jika penumpang yang dilewati cuek saja. Mungkin dia mengira orang itu sudah bayar.Yang jelas, beberapa kali naik bis saya tidak bayar.
Lebih kurang seminggu saya di Jakarta tibalah waktunya kembali ke Solo, tetapi singgah dulu di Bandung di rumah Mak Tuo. Saya pikul tas besar dan tentengan lainl berupa kardus ke Kampung Rambutan. Tas besar itu penuh dengan pakaian, buku-buku, dan keperluan lainnya. Ada banyak juga rasanya buku di dalam tas itu. Saya tunggu bis di luar terminal supaya ongkos murah. Begitu dapat bis saya langsung melompat naik. Barang saya taroh di depan kaca sebelah sopir. Tempat duduk penuh. Saya terpaksa berdiri dulu sampai ada penumpang yang turun di jalan. Waktu naik saya sempat baca merek bis sekilas tetapi saya tidak hapal.
Seperti biasa ketika kenek lewat mintak ongkos saya pura-pura tidak tahu. Mulut saya komat kamit membaca mantera mandraguna itu. Alhamdulillah. Mantera ini masih manjur, Kenek tidak menagih ongkos dan tentu juga tidak memberi tiket. Saya bersyukur dapat menghemat uang. Ketika memasuki Suka Bumi penumpang sudah ada yang turun satu persatu sehingga bangku bisa saya isi. Lega juga rasanya dapat duduk melepas lelah sebab dari tadi berdiri. Sesampai di Cianjur bis berhenti di depan sebuah rumah makan untuk shalat dan makan. Waktu itu sudah magrib. Selesai shalat dan makan saya berkeliling keliling di warung-warung sekitar rumah makan Sunda itu. Saya kira bis Sunda ini sama dengan ANS atau Gumarang Jaya dari Bukittinggi-Jakarta yang lama berhenti di kedai nasi. Rupanya, setelah saya kembali ke parkiran bis tadi ternyata bis sudah berangkat. Innalillah.. Tasku bagaimana?
Saya tanya sana sini. Ternyata benar bis dari tadi berangkat menuju Bandung. Saya terkejut, Dengan cepat saya bertindak. Saya baik bis apa saja menuju Bandung. Sampai jugalah saya di terminal bis Bandung. Saya lupa namanya. Di sana saya segera bertanya di loket-loket bis tentang bis-bis yang baru masuk. Otomatis orang-orang itu menanyakan tiket saya. Apa nama bisnya? Tentu saja saya tidak bisa menunjukkan tiket karena saya tidak beli tiket. Nama bis? Saya juga lupa-lupa ingat. Kata orang coba kembali lagi ke rumah makan di Cinjur itu sebab biasanya bis akan balik lagi Jakarta. Akhirnya saya kembali naik bis ke Cianjur. Lelah saya. Lunak rasnya badan ini. Runtuh dunia ini rasanya. Pakaian Cuma yang ada di badan dan uang cuma yang ada di saku. Akhirnya pencarian gagal dan sampai hari ini tas ini tidak tahu rimbanya. Sudah 28 tahun lamanya. Gara-gara mantera madraguna itu. Ooii takanai ambo…Nan ka datang jan ulang baliak. dih. (Sungai Pua, 7 Oktober 2021).
Penulis : Harmen, St. Rangkayo Basa
Editor : Surya Hadinata, SH