Tahun 19-an sempat hit lagu Bento yang dibawakan oleh Iwan Fals. Bento sering diplesetkan orang kependekan dari benci soeharto sebagai sindiran untuk Soeharto dan keluarganya. Memang pada masa itu kritikan terhadap Soeharto dan keluarganya sangat tajam dari sebagian rakyat Indonesia, terutama pihak-pihak yang merasa terzalimi atau merasa tidak puas. Iwan Fals membantah bahwa lagu itu sindiran untuk Soeharto dan keluarganya. Katanya, bento adalah nama ayamnya yang sayapnya patah karena kecelakaan. Sekalipun dibantah tetap saja pikiran orang banyak mengarah ke situ.
Saya termasuk orang yang benci Soeharto. Sejak saya lahir tahun 1973 sampai tahun 90-an presiden tidak pernah diganti. Seolah-olah Soeharto adalah satu-satunya orang yang pantas menjadi presiden di negeri ini. Golkar pada masa itu sangat kuat. Dalam setiap pemilu selalu menang. Sekalipun berada di sarang PPP, Golkar tidak bisa dikalahkan. Di kantor-kantor pemerintahan ada TPS dan sudah pasti Golkar yang menang. Jika ada yang meleset itu dianggap kecelakaan alias salah coblos.
Tiap-tiap kampung berusaha memenangkan Golkar sebab jika kalah kampung itu tidak akan dibangun.
Orang-orang hijau alias fanatik Islam yang berlindung di bawah PPP takut menampakkan diri, sehingga kampanye selalu sepi. Bisa jadi juga penyebabnya sudah bosan dan muak karena merasa ditipu oleh orang-orang di atas. Organisasi keislaman tidak bebas bergerak, sering dimata-matai intel. Pernah kami akan mengadakan acara pengkaderan atau pelatihan remaja datang intel dari kepolisian memata-matai acara. Tahun 1990 kami akan mengikuti pengkaderan PII. Rencananya akan diadakan di Koto Baru. Akan tetapi ada informasi ada intel yang membuntuti. Akhirnya acara dipindahkan ke sebuah desa terpencil di Koto Baru Salo Baso. Di situ kami pelatihan satu Minggu lamanya.
Sebelum itu, dalam masa tahun 80-an banyak terjadi penangkapan dan pembantaian terhadap aktifis gerakan Islam. Ada kasus Tanjung Periuk tahun 1984. Ada kasus Boyla; ada komando jihad; ada pula kasus Talang Sari Lampung tahun 1989. Masa-masa itu panglima ABRI dijabat oleh LB. Murdani, seorang Kristen. Kecenderungan Soeharto yang merangkul orang-orang salibis dan mengecilkan Islam membuat banyak orang Islam marah.
Tahun 1992 ketika saya masuk sebuah pesantren di Jawa Tengah kebencian saya terhadap Soeharto semakin bertambah. Pimpinan pesantren itu dulu dipenjara oleh Soeharto gara-gara menolak azaz tunggal, Pancasila. Soeharto dicap benci Islam. Genderang perang ditabuh untuk Soeharto dan konco-konconya.
Namun, pada penghujung kekuasaannya beliau seolah merapat kepada umat Islam. Hal itu terasa sejak Faisal Tanjung diangkat menjadi panglima ABRI. Suharto seolah menyadari kekeliruannya. Hal ini pula membuat cemburu pihak lain yang berseberangan. Apapun alasannya. Rakyat sudah kelamaan dipimpin oleh satu pimpinan. Rakyat ingin pembaharuan, Ingin kekebasan.
Pada pemilu 1997 ada muncul istilah Mega-Bintang. PPP dan PDI seorang bersatu mengalahkan Golkar. Jakarta menjadi lautan hijau setiap giliran kampanye. Saya juga sering ikut dengan kawan-kawan turun ke jalan-jalan naik mobil bersorak sorai meneriakkan hidup PPP!! Hidup Mega-Bintang!! Banyak orang memprediksi Golkar akan kalah di Jakarta, ibu kota Indonesia. Tetapi dugaan itu meleset. Golkar tetap juara. Kata orang suara luar negeri penyumbang utama.
Tak lama setelah dilantik jadi presiden untuk yang ke-7 kalinya krisis moneter menerpa Negara. Rupiah anjlok. Dolar naik. Sebagai mahasiswa di Lipia waktu itu saya gembira sebab dengan naiknya dolar naik pula uang satu dari Kerajaan Saudi. Jadi, kami, mahasiswa diberi beasiswa 100 riyal sebulan.
Sebelum moneter 100 riyal itu setara dengan Rp 60.000,-. Uang sebanyak itu sudah cukup untuk membeli satu emas. Dengan naiknya dolar otomatis riyal juga naik. Maka, secara berangsur uang saku kami naik secara signifikan. Dari Rp. 60.000,- menjadi lebih dari Rp. 100.000,- dan seterusnya.
Puncak krisis ini adalah kemarahan rakyat. Mahasiswa mulai bergerak. Demo di mana-mana, khususnya di ibu kota. Mahasiswa di daerah mulai pula ikut demo. Demo berujung tewasnya beberapa orang mahasiswa Trisakti pada media tahun 1998. Peristiwa itulah pemicu demo besar-besaran yang akhirnya membuat Soeharto tak berkutik lagi. Dengan terpaksa beliau lengser ke prabon pada awal Mei 1998. Hari itu hari Kamis.
Pada hari itu sebenarnya Amin Rais dijadwalkan akan memimpin demo besar-besaran di Monas. Pemerintah merespon rencana itu dengan memasang pagar lapis baja di sekitar Monas. Jika sempat terjadi demo mungkin akan terjadi pertumbahan darah. Untung saja demo batal berkat negosiasi orang dalam dengan Amin Rais. Konon itu adalah Yusril Irza Mahendra yang mencegah.
Anehnya, pada hari Kami situ, pada saat Monas dikawal dengan tank baja di sekelilingnya; tentara bersenjata siap siaga; Monas sepi dari manusia, saya malah jalan-jalan dari Atrium Senin sendirian menuju daerah dekat masjid Istiqlal. Saya melihat sendiri teng baja yang banyak berbaris di seputar jalan Raya yang mengelingi Monas. Untung saja saya tidak dicokok oleh tentara-tentara itu. Itulah siangnya Suharto menyatakan berhenti.
Reformasi 1998 telah berlalu lebih daripada 20 tahun lamanya. Pro dan kontra tentang Suharto menyeruak kembali. Bagi sebagian rakyat runtuhnya Orde Baru adalah keberkahan, lepas dari belenggu kediktatoran. Pihak ini saat ini sedang menikmati kekuasaan. Seorang dokter di Simpang Tembok Bukittinggi yang dulu beliau menjadi aktivis 66 semasa di UI mengatakan bahwa yang berkuasa hari ini adalah yang merasa teraniaya pada masa Suharto.
Sementara itu ada pula pihak yang merindukan masa-masa dulu. Ekonomi stabil; negeri aman; pembangunan lancer; PKI tak berani bicara, sehingga muncul slogan di belakang truk yang berbunyi” Piye Kabare.. Enak jamanku, tho?”.
Harmen, Oktober 2021. (Harmen St. Rangkayo Basa))
Editor : Surya Hadinata, SH