Home / Feature

Sabtu, 23 Oktober 2021 - 10:00 WIB

Legenda Bancah Puti Janik Part (7)

Legenda Bancah Puti Janik

Legenda Bancah Puti Janik

LEGENDA BANCAH PUTI JANIK

Oleh :  Fredrik Tirtosuryo Esoputra, S. Pd., M. Sn

Bukittinggi, 23 Oktober 2021

AKIBAT IBU KECEWA

            Setelah berpamitan untuk mohon diri kepada Sari, Janik pun segera pulang bersama Ibunya. Sekarang Ibu Janik yang berjalan duluan, Janik di belakang Ibunya. Tetapi, langkah Ibunya berjalan bagai orang tergesa-gesa saja. Sambil berjalan Ibu Janik menangis sejadi-jadinya. Air matanya pun tidak dapat dibendung, jatuh membasahi pipinya yang sudah keriputan dan menetes membasahi jalanan yang dilaluinya. Hatinya porak-poranda mengingat perkataan yang diucapkan anaknya di rumah Sari.

“Perih dan hancur rasanya hati ini, ya Tuhan”, keluh Ibu Janik kepada Sang Pencipta. Seoleh-olah dia mengadukan derita yang dialaminya. “Mengapa anak yang kulahirkan tega berkata seperti itu, padahal aku ini ibunya, bukan pembantu”, keluh Ibu Janik dalam hati. Sambil menangis bercucuran air mata, berkecamuk perasaannya antara kekecewan dengan kasih sayang yang telah ia berikan. Perasaannya perih tidak terkira, bercampur rasa sakit hati, kecewa, dan malu pada teman Janik. Malu karena perlakuan Janik terhadap dirinya dan tidak mau mengakui dia sebagai Ibu kepada temannya.

Janik, tidak mempedulikan sikap orang tuanya di perjalalan pulang. “Hai orang tua, mengapa berjalan bergegas-gegas seperti orang kesetanan itu. Engkau jalan di belakangku, tidak di depan”, komentar Janik pada Ibunya. Ibunya tidak lagi menggubriskan perkataan Janik yang menyuruh dia berjalan di belakang seperti sewaktu pergi tadi. Dia terus saja berjalan sambil menangis dan meratap.

“Oh Tuhan, inikah balasan anakku yang Engkau redhai”, tanya Ibu Janik pada Sang Pencipta. Penguasa jagat raya ini.

“Janik, teganya hatimu melukai perasaan Ibu yang melahirkanmu, air susu yang kuberikan, tuba yang kau balas padaku”, ratap Ibu Janik tidak habis-habisnya di sepanjang perjalanan.

Tanpa terasa, perjalanan pulangnya telah sampai di perbatasan antara Jorong Kayu Tanduk dengan Kenagarian Pandai Sikek. Di perbatasan tersebut, mereka harus melewati Jembatan yang di bawahnya ada bancah (lumpur). Bancah itu tidak pernah kering, walau hari panas sekali pun. Dalam melewati jembatan ini, Ibu Janik masih saja meratap nasibnya yang kecewa lantaran ulah perangai anaknya. Tepat di tengah jembatan dia meminta pertolongan Tuhan, agar Tuhan menghukum anaknya sebagai bukti bahwa dia benar orang tua dari anaknya.

Baca juga  LEGENDA BANCAH PUTI JANIK Part (1)

“Tuhan…, tidak tahan hati ini rasanya hidup, anak satu-satunya melukai hati sanubari hamba. Menghina, mencaci, dan tidak mengakui hamba orang tuanya. Oh Tuhanku …, tunjukkan kekuasaan-Mu Tuhan, ditelan bancah ini jualah dia”, upatan dan doa Ibu Janik kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah doa dipintakan kepada Tuhan pemilik semesta alam, Ibu Janik terus berjalan menuju pulang. Sementara Janik berjalan dengan sikap pongah penuh keangkuhannya.

Baru saja Ibu Janik selesai membaca doa yang terletup dalam upatannya, langit serta merta mendung dan petir berbunyi saling bersahutan di segenap sudut angkasa raya. Seolah-olah upatan doa Ibu Janik langsung ditanggapi dan dijamah oleh Tuhan. Kondisi langit gelap disertai petir tidak berlangsung lama, hanya beberapa menit saja. Keadaan ini tidak membuat Janik tersadar akan kesalahan yang telah dia perbuat terhadap Ibu kandungnya. Tetapi, sewaktu Janik mulai melintasi jembatan, bancah di bawah jembatan mulai bergelembung-gelembung bergerak naik. Janik masih saja tidak menghiraukan suasana. Ia baru mulai terkejut, ketika bancah udah sampai di kakinya. Bancah bergerak cepat, bahkan lebih cepat dari gerakan langkah Janik. Ketika bancah sudah sampai selutut janik, barulah ia mulai terpekik. “Ibu … Ibu …, bagai mana ini Bu? Bancah naik sampai di lututku Ibu”, pekik Janik memanggil Ibunya.

Lantaran kekecewaaan yang sangat mendalam dirasa Ibu Janik. Pekikkan panggilan Puti Janik tidak digubrisnya. Ibu Janik hanya terus berjalan dan menanggis sambil membalas penggilan anaknya. “Mengapa engkau memanggil aku Ibu lagi, bukankah tadi engkau katakan aku ini pembantumu?”, jawab Ibu Janik. “Ibu … Ibu … tolong bancah sudah setinggi perutku”, raung Janik memanggil-manggil Ibunya. Namun Ibu Janik masih saja tidak menghiraukan lagi, hatinya porak-poranda karena ulah perangai Janik.

“Ibu… tolong …. bancah sudah mencapai bahuku Bu, tolong Bu maafkan aku”, kata Janik.

“Nasi sudah jadi bubur nak. Sudah terlambat engkau mengucapkan kata minta maaf”, jawab Ibu Janik sambil berjalan.

Baca juga  Legenda Bancah Puti Janik Part (3)

“Ibu bancah sudah sampai di leherku …, Ibu ….”, panggil janik yang terakhir. Setelah itu, Ibu Janik tidak lagi mendengar pekikkan anaknya minta tolong. Rupanya, anaknya sudah di telan bancah. Walau bancah menyusut dari jembatan, namun tubuh Janik tiada tertinggal. Ia benar-benar ditelan bancah seiring menyusutnya bancah sampai pada keadaan sedia kala.

Kini tinggallah Delima Ibu Janik seorang diri. Sejak peristiwa tersebut, hidupnya tidak bergairah lagi. Badannya yang kurus kering, tinggal kulit pembalut tulang, hidup dengan belas kasihan masyarakat jorong Kayu Tanduk. Tidak berapa lama, dia pun meninggal dunia.

Begitulah kisah anak yang durhaka terhadap Ibu atau pada orang tuanya, sebagai hukumanya dari yang Maha Kuasa. Sedangkan nabi kita Muhammad S.A.W. pernah bersabda yang artinya, “Sorga itu terletak di bawah telapak kaki Ibu”. Kita harus menghormati Ibu yang telah bersusah payah melahirkan kita dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Sejak kejadian yang dialami Janik, bancah yang berada di bawah jembatan itu bernama “Bancah Puti Janik”. Sekarang jembatan itu sudah tidak ada lagi. Konon kabarnya semenjak Puti Janik ditelan Bancah, masyarakat tidak lagi menggunakan jembatan itu sebagai sarana penghubung menuju jorong Pagu-pagu dengan jorongt Kayu Tanduk. Jalan menuju jorong Pagu-pagu dari jorong Kayu Tanduk mereka alihkan.
Kini Bancah Puti Janik itu masih ada dan kisah Puti Janik masih terpelihara secara lisan di tengah-tengah masyarakat jorong Kayu Tanduk. Hanya saja yang sangat disayangkan, lokasinya kini tidak terpelihara atau dibenahi, telah ditutupi semak belukar dan batang hilalang. Padahal, apabila terbenahi mungkin saja lokasi ini dapat menjadi objek wisata bagi masyarakat jorong Kayu Tanduk sebagai pendamping kisah Malin Kundang di Aie Manih Kota Padang, di samping suasana alamnya masih asri dan sejuk.
Akhirulkalam, semoga kisah Legenda Bancah Puti Janik, dapat menjadi penambah perbendaharaan cerita-cerita rakyat buat anak negeri bangsa kita. Dalam rangka, menumbuhkembangkan budaya gemar membaca dan menulis padanya.

Fredrik Tirtosuryo Esoputra, S. Pd., M. Sn. Sang penulis dan sekaligus sebagai pengajar di (Guru SMK Negeri 2 Padang Panjang)

Finish,,,,

Editor : Surya Hadinata, SH

Share :

Baca Juga

Feature

LEGENDA BANCAH PUTI JANIK Part (2)

Feature

Soeharto Antara Benci Dan Rindu

Feature

Legenda Bancah Puti Janik Part (4)

Feature

Pengalaman Gara Gara Mantra

Feature

LEGENDA BANCAH PUTI JANIK Part (1)

Feature

Legenda Bancah Puti Janik Part (5)

Feature

Pengunduran Tanggal Merah Maulid Nabi 1443 H, Diprotes Pedagang Es Doger

Feature

PERAN ALUMNI LIPIA DI KAMPUNG HALAMAN