BUKITTINGGI, LENTERA RAKYAT.ID — Keluarga besar Muhammadiyah seluruh Indonesia menyatakan sikap untuk menolak gagasan menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam UUD Negara Republik Indonesia dan Amandemen terbatas (ke-5) UUD 1945.
Pernyataam sikap ini ditandatangani oleh 42 pimpinan Fakultas Hukum yang hadir pada acara Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah seluruh Indonesia, yang dilaksanakan di Kampus III Universitas Muhammadiyah Jalan By Pass, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.
“Yang hadir hari ini dekan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) Aisyiyah, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) sebanyak 43, dan ada Ketua Prodi Ilmu Hukum baik S1 dan sembilan Ketua Prodi S2,” jelas Dekan Fakultas Hukum UM Sumbar Wendra Yunaldi, Kamis (20/01).
Setelah melalui pembahasan panjang akhirnya Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum dan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum PT Muhammadiyah Dr Tongat mewakili seluruh peserta yang hadir membacakan hasil dari kepesakatan bersama tersebut, yang berbunyi:
Pertama, gagasan untuk menghidupkan kembali GBHN/PPHN atau apapun namanya dalam konstitusi tidak relevan dengan struktur ketetanegaraan Indonesia, sistem pemerintahan Presidensial dan mekanisme pertanggungjawaban pemerintah saat ini yang merupakan hasil dari reformasi dan amandemen konstitusi.
Kedua, PPHN tidak diperlukan karena fungsinya telah digantikan oleh Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang. Apabila terdapat kekurangan pada sistem perencanaan tersebut, maka yang dievaluasi dan dilakukan revisi adalah pada level UU bukan UUD.
Ketiga, pada saat ini, tidak ada persoalan dan mementum penting/luar biasa yang terjadi, yang menjadi motivasi kuat dan krusial dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945. Robert A. Goldwin dan Art Kaufman berpendapat bahwa pembuatan konstitusi hanya mungkin dilakukan pada “momentum luar biasa” dalam sejarah suatu bangsa.
Keempat, amandemen terbatas UUD 1945, meski diperbolehkan oleh konstitusi (Pasal 37 UUD 1945), namun pada saat ini tidak tepat dilakukan dalam situasi sulit, disaat masyarakat menghadapi persoalan Kesehatan dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi covid-19, MPR melakukan perubahan terhadap UUD, sementara diperlukan partisipasi yang luas dari seluruh masyarakat dan komponen bangsa dalam perubahan UUD 1945. John Elster mengatakan bahwa, sebuah proses pembuatan konstitusi dilakukan dalam “kondisi-kondisi yang paling tenang dan tanpa gangguan”.
Kelima, amandemen terbatas UUD 1945 dikhawatirkan dapat menjadi pintu masuk dan bola liar bagi kepentingan politik pragmatis elitis untuk mengubah berbagai pasal dalam UUD 1945 yang tidak hanya terbatas pada masalah PPHN tetapi juga isu lainnya antara lain : perpanjangan masa jabatan Presiden 3 periode, yang jelas-jelas menghianati amanah reformasi.
“Oleh karena kami Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua STIH PTMA se-Indonesia menyatakan: Menolak gagasan menghidupkan GBHN (PPHN) dalam UUD NRI 1945 dan amandemen terbatas (ke-5) UUD 1945, demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih,” kata Dr Tongat menegaskan. (Ayu)
Editor : Surya Hadinata, SH