Oleh : Fredrik Tirtosuryo Esoputra, S. Pd., M. Sn.
Bukitinggi, 18 Oktober 2021 —
KEBAHAGIAN TERENGGUT
Waktu berjalan terus silih berganti. Sekarang Janik sudah mulai belajar berjalan satu-satu langkah. Membuat orang gemas melihat Janik yang sedang mencoba-coba berjalan sendiri dengan tubuhnya yang elok dan imut-imut. Alangkah senang hati orang tua Janik, melihat anaknya sudah mulai pandai berjalan selangkah demi selangkah. Tetapi …, apa hendak dikata, Tuhan Yang Maha Kuasa berbuat sekehendaknya. Manusia menjalani tidakdir yang telah ditentukan-Nya. Anak baru akan pandai berjalan, si ayah (Suddin) berpulang ke ramatullah, alias meninggal dunia. Ayah Janik meninggal mendadak lantaran serangan penyakit jantung.
Ibu Janik menangis sejadi-jadinya, meratapi nasibnya yang tinggal sebatangkara membesarkan anak. Ia tidak kuasa menahan kesedihan. Betapa berat hidup yang akan dihadapinya, membesarkan anak dan sekaligus memikul memenuhi kebutuhan keluarga seorang diri (single parents). Janik yang masih balita, tidak paham akan peristiwa yang sedang dihadapi Ibunya. Masyarakat kampung segera beramai-ramai melayat ke rumah Janik.
Orang-orang yang datang melayat terharu, ada pula yang ikut terbawa arus menangis seraya memberi nasihat pada Ibu Janik untuk tetap tabah dalam menghadapi musibah ini. “Sabar ya Delima, kuatkan hatimu menghadapi cobaan hidup, besarkan anakmu semoga kelak menjadi anak yang santun”, nasihat para pelayat. Pelayat lain berkata, “Kasihani anakmu, jangan kamu larut dalam musibah ini!” Ibu Janik hanya mengangguk dan tertunduk memandangi Janik, yang besar kelak tidak kenal akan wajah ayahnya. “Kasihan engkau nak, engkau belum puas merasakan belaian kasih sayang dari ayahmu, kini beliau telah pergi menghadap yang Kuasa, meninggalkan kita untuk selama-lamanya, nak”, tutur Ibu Janik kepada putrinya yang masih lugu dan polos sambil meneteskan air mata.
Setelah jenazah ayah janik dimandikan dan dikafankan, warga membawanya ke mesjid untuk shalatkan. Setelah itu, dimakamkan di pandam kuburan kaum. Ramai sekali masyarakat mengantarkan Jenazah ayah Janik di tempat peristirahatannya yang terakhir. Sambil menggendong Janik disertai deraian air mata yang tidak terbendungkan, Ibu Janik ikut mengantarkan jenazah suaminya ke pemakaman.
Sepulang dari pemakaman suaminya, Ibu Janik masih saja meratapi nasibnya. “Tiada lagi tempatku berbagi pikiran dalam mengasuh Janik hingga besar”, gumam Ibu Janik dalam hati. Sungguh pilu dan sedih hati Ibu Janik, menatap kehidupan yang masih panjang tetapi ia sadar akan kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mau tidak mau, ia harus merelakan kepergian suaminya menghadap Sang Khalik menuju kehidupan yang abadi. Kini ia harus tegar mendayung bahtera di samudera kehidupan, mengasuh, dan memberikan kasih sayang kepada Janik. Supaya Janik permata hati satu-satunya, tumbuh dan berkembang menjadi anak yang shalehah. Tahu dengan suruhan agama dan menjadi anak yang santun pada orang tuanya.
Semenjak ayah Janik telah meninggal dunia, kebutuhan keluarga diusahkan oleh Ibunya seorang diri. Sudah tentu kemampuan Ibu Janik bekerja tidak sama dengan kemampuan Ayahnya. Upaya mengerjakan sawah dan ladang, pekerjaan rumah tangga yang dia lakukan, membuat Ibu Janik harus pandai membagi waktu dan tenaga. Kehidupan mereka pun tidak berkecukupan lagi, namun si Ibu tetap tegar berupaya, supaya anaknya tidak berkekurangan bila dibanding dengan teman-teman sebayanya. Sawah-sawah semasa suaminya atau ayah Janik hidup sudah berangsur-angsur terjual untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Di samping itu, Ibu Janik tidak sanggup mengolah sawah dan ladang peninggalan suaminya seorang diri. Maklum ia hanya seorang perempuan, kemampuannya sangat terbatas, tidak sama dengan laki-laki.
Bersambung,,,,,,,,,,,,,,,,,
Editor : Surya Hadinata, SH