Home / Feature

Selasa, 19 Oktober 2021 - 21:10 WIB

Legenda Bancah Puti Janik Part (3)

Legenda Bancah Puti Janik

Legenda Bancah Puti Janik

LEGENDA BANCAH PUTI JANIK
Oleh : Fredrik Tirtosuryo Esoputra, S. Pd., M. Sn.

Bukittinggi, 20 Oktober 2021

TUMBUH CANTIK JELITA
Seiring perjalanan waktu, tanpa terasa Janik telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Kenapa tidak, dari kecil tubuh Janik pun sudah cantik dan kebutuhan hidupnya selalu terpenuhi oleh Ibunya. Boleh dikatakan, tidak ada satu pun keinginannya yang tersandung oleh Ibunya lantaran keterbatasan biaya. Walau kadang kala Ibunya tidak punya uang atau uang Ibunya kurang untuk membelikan keinginan yang dipinta Janik, Ibunya selalu berusaha mencukupi dengan jalan meminjam uang pada tetangga teman Ibunya.

Parasnya yang cantik rupawan, tubuh nan elok membuat Janik menjadi pujaan setiap pemuda di kampungnya. Kasih sayang yang Ibunya curahkan dengan penuh perhatian, wajahnya yang cantik, dan menjadi idola setiap para pemuda di kampungnya. Rupanya hal demikian telah membuat kepribadian Janik berubah seratus delapan puluh derajad. Ia sudah mulai tidak memperhatikan apa-apa yang dinasihatkan Ibunya. Bahkan sudah berani memerintah Ibunya sebagai mana layaknya juragan atau majikan memerintah pembantunya.

“Bu masakkan air mandiku, aku mau mandi”, perintah Janik pada Ibunya.
“Masaklah sendirian Janik, Ibu lagi capek baru pulang mencari kayu bakar”, jawab Ibu Janik dengan wajah yang penuh keheranan.

”Tidak Bu, aku tidak mau ke dapur nanti badanku bau asap dan berdebu”, kilah Janik pada Ibunya.
“Nak, kalau memasak di dapur badanmu kena debu dan bau asap, dapat hilang setelah mandi. Kamukan mau mandi?”, balas Ibu Janik.“Tidak Bu, aku tidak mau. Lagian Ibukan orang tuaku? Kewajiban Ibu melayani permintaanku.”, jawab Janik.

Ibu Janik hanya diam saja, dia masakkan juga air mandi anaknya yang semata wayang itu. Setelah air mandi masak, Ibu Janik memanggil anaknya supaya mandi sebab ia tidak ingin anaknya mandi di waktu malam akan tiba. “Nak, mandilah nak air panas sudah Ibu taruh di kamar mandi”, pemberitahuan Ibu Janik kepada anaknya. Tanpa jawaban, Janik langsung menuju ke kamar mandi. Begitulah tabiat Janik kini, semenjak telah menjadi gadis remaja.

Paras yang cantik dan rasa kasih sayang yang dicurahkan Ibunya secara berlebihan, membuat tabiat Janik berubah. Sombong, tidak lagi mau peduli membantu Ibunya di rumah, bahkan sudah berani melawan nasehat Ibunya. Hal ini membuat hati Ibunya sedih. Namun Ibunya tidak pernah merasa benci pada anaknya, ia tetap menunjukkan rasa sayang pada anaknya itu. Inilah yang dikatakan, kasih ibu sepanjang jalan yang tiada henti-hentinya.

Aktivitas seharian Puti Janik tidak terlepas dari bersolek, bermain bersama teman-teman sebayanya atau berleha-leha duduk-duduk di bawah pohon nan rindang di dekat rumahnya. Tidak mau lagi membantu Ibunya dalam hal memasak dan membersihkan rumah. Ibunyalah yang mengerjakan sepulang mencari kayu bakar dari hutan. Betapa sedihnya hati Ibu Janik bila memikirkan keadaan Janik yang telah berubah itu.

Baca juga  Fokus Pada Tujuan, Sebuah Teori Ibrahim Mandres

Kasihan benar nasib Delima, Ibu dari Puti Janik. Sehabis mencari kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sesampai di rumah ada lagi pekerjaan rumah tangga yang menanti. Pekerjaan rumah tangga tersebut harus pula ia lakukan seorang diri karena anaknya sudah tidak mau membantunya.

Orang kampung sering pula menasihati Puti Janik, supaya dia mengasihani Ibunya dan membantu Ibunya dalam hal pekerjaan rumah. Tetapi, nasihat-nasihat masyarakat kampung tidak diindahkannya. Sehingga, orang-orang kampung hanya menggeleng-gelengkan kepala saja, bila melihat dan mendengar korenah perilaku Puti Janik. “Dasar anak tidak tahu diuntung, sudah dari kecil ayah meninggal, sama Ibunya pun tidak mau menurut”, ciloteh Ibu-ibu di kampung Puti Janik.

Kalau teman-teman Janik berkunjung ke rumahnya, Janik selalu melayani teman-temannya itu layaknya tamu. Sehingga teman-teman Janik keranjingan pergi bermain ke rumah Janik. Padahal, bila Janik berkunjung ke rumah teman-temannya tidak ada yang menyuguhkan air minum sekali pun jua. Memang ada pula benarnya ciloteh Ibu-ibu di kampung Janik, yang menyatakan Janik anak tidak tahu diuntung.

Kenapa tidak, ibunya sudah susah-susah berupaya mencukupi keperluan hidupnya, dia enak-enak mengajak teman-temannya makan-makan di rumahnya. Sampai-sampai sewaktu Ibunya pulang hendak makan, ternyata makanan dan bahan makanan sudah tidak ada yang tersisa. Hal hasil, kalau tidak ada uang, Ibu Janik sering berhutang pada tetangganya.

Kalau rasanya hutang sudah agak banyak, sering rasa lapar Ibunya tahan dengan memakan rebusan ubi keladi atau singkong. Itu pun, kalau batang keladi atau pohon singkong di pekarangan rumahnya ada yang berbuah. Kalau tidak, ya ditahannya saja sampai esok pagi menjelang.

Kondisi Puti Janik seperti ini, menambah beban bathin Ibunya saja. Sering ia menyesali perjalanan nasibnya, tetapi itu hanya sia-sia belaka. “Kapankah kesadaran anakku timbul dan menyadari keadaan nasib orang tuanya? Apa yang telah salah kuperbuat, sehingga putriku satu-satunya berperilaku demikian padaku? Jauh sekali beda perangainya di waktu kecil dulu?”, kecamuk batin di hati Ibu Janik.

Yang membuat ia menangis, sebagai salah satu bentuk pelampiasan emosionalnya. “Oh Uda Suddin, mengapa terlalu cepat Tuhan memanggil uda? Kalaulah Uda masih ada tentu kita bisa berdua mendidik putri kita, tidak akan mungkin dia seperti ini. Tuhan …, kuatkanlah hati hamba-Mu ini dalam mendayung bahtera kehidupan bersama anak hamba”, keluh Ibu Janik sewaktu ia menangis.

Baca juga  Legenda Bancah Puti Janik Part (6)

Memang sungguh kasihan Delima, Ibu Puti Janik. Bila ia terlambat memberikan apa yang diminta anakknya. Anaknya, Puti Janik sudah berani menghardiknya, walau di hadapan teman-temannya. Suatu hari, di depan temannya Janik membentidak Ibunya. “Dasar orang tua, mana piring aku mau makan? Sudah lapar perutku, cepat!”, bentak Janik pada Ibunya. Ibu Janik hanya diam, memberikan permintaan anaknya. Teman Janik yang ada waktu itu, Sari dan Mirna.

Mirna mencoba memberikan nasihat pada Janik, tetapi nasihat temannya juga tidak digubrisnya. “Janik, itu ibumu. Mengapa engkau tega berbuat demikian? Jangan Janik, kasihani perasaan Ibumu”, nasihat Mirna. Janik hanya diam mendengar tuturan Mirna sahabatnya, namun kehendaknya jua yang berlaku.
Tubuh Ibu Janik kini sudah kurus dan tidak terurus lagi.

Pakaiannya pun banyak yang compang camping, amat jauh berbeda dengan pakaian yang dikenakan Puti Janik. Janik sendiri, tidak suka melihat ibunya berpakaian agak baik. “Ibu tidak perlu pakai baju yang bagus-bagus, karena Ibu sudah tua. Tidak pantas rasanya Ibu memakai baju yang bagus-bagus. Aktivitas Ibu hanya ke hutan mencari kayu bakar, ke pasar, dan ke dapur.

Untuk apa, tidak adakan?”, kata Janik pada Ibunya. “Nak mengapa engkau tega berkata demikian pada Ibu? Aku ini Ibu yang melahirkanmu, Nak”, jawab Ibu Janik. “Sudahlah Bu, apa yang kukatakan itu benar apa adanya. Untuk apa Ibu berpakaian bagus-bagus, Ibu sudah tua.

Tidak pantas Bu”, jawab Janik membela perkataannya. “Aku tidak mau juga pakai baju layaknya seperti anak gadis, hanya saja bajuku sudah banyak yang robek”, jawab Ibu Janik menjelaskan. “Pokoknya Bu, selagi dapat dipakai, pakai saja. Jangan bikin yang baru, lagi pula Ibu tidak akan pergi kemana-mana.

Nanti kebutuhanku kurang Bu”, tutur Janik mempertegas larangannya. “Dasar orang tua tidak tahu diri”, Imbuh Janik. Ibu Janik hanya diam sambil mengurut dada melihat korenah anaknya yang kurang santun pada dirinya. “Mungkin ini cobaan juga dari Yang Maha Kuasa”, gumam Ibu Janik sambil berjalan menjauh dari Puti Janik. Ia pergi ke dapur, menangis dan meratapi nasib dirinya yang penuh dengan cobaan hidup dari Tuhan Yang Maha Esa. “Ya Tuhan, kuatkanlah batin ini, menghadapi kehidupan ini, semoga Engkau memberi petunjuk pada putriku, kujalani ini dengan ikhlas kalau memang ini sebuah cobaan dari-Mu, ya Tuhanku”, permohonan Ibu Janik pada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Fredrik Tirtosuryo Esoputra, S. Pd., M. Sn. Sang penulis dan sekaligus sebagai pengajar di
(Guru SMK Negeri 2 Padang Panjang)

Bersambung,,,,,,

Editor : Surya Hadinata, SH

Share :

Baca Juga

Feature

Legenda Bancah Puti Janik Part (6)

Feature

LEGENDA BANCAH PUTI JANIK Part (2)

Feature

LEGENDA BANCAH PUTI JANIK Part (1)

Feature

Pengunduran Tanggal Merah Maulid Nabi 1443 H, Diprotes Pedagang Es Doger

Feature

Pengalaman Gara Gara Mantra

Feature

PERAN ALUMNI LIPIA DI KAMPUNG HALAMAN

Feature

AMIN RAIS TAKANAI BARAGIAH

Feature

Legenda Bancah Puti Janik Part (4)